Saat
ini dunia tengah dilanda pandemi Covid-19.
Masing-masing negara mengeluargan beragam kebijakan, mulai dari
pemberian bantuan sosial, memberikan keringanan kepada berbagai perusahaan,
hingga pemberlakuan lockdown pada
berbagai tempat yang menjadi episentrum penyebaran virus. Semua upaya dilakukan
demi mampu mengendalikan dampak Pandemi, baik secara sosial, kemanusiaan,
maupun ekonomi .
Presiden
Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPPU), yang belakangan sudah disahkan menjadi Undang Undang, Nomor 1 Tahun
2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan. Peraturan ini diterbitkan guna memberikan landasan hukum untuk
upaya dan alokasi dana yang diperlukan dalam rangka penganggulangan
pandemi.
Perpu
No 1 tahun 2020 muncul sebagai respon pemerintah terhadap meluasnya pandemi dan
berbagai resiko yang mengikutinya. Penerbitan perpu tersebut juga telah resmi
menjadikan pandemi Covid-19 sebagai “kegentingan yang memaksa”. Menkopolhukam
Mahfud MD, dalam opininya untuk jawapos.com,
menjelaskan bahwa predikat “kegentingan yang memaksa” merupakan hak subjektif
presiden. Sebab tidak ada UU yang memadai untuk menyelesaikan “kegentingan yang
memaksa”, pemerintah mengambil langkah cepat dengan menerbitkan Perpu
Perlu
diketahui, kondisi ekonomi dan keuangan Indonesia memang tengah mengalami tekanan besar selama
masa pandemi. Menurut
Pusat Kajian Visi Teliti Saksama
(VTS) dalam penelitian berjudul “Limbung Roda Terpasak Corona” dampak negative pandemi mau tidak mau
akan menerpa ekonomi Indonesia selama beberapa waktu kedepan. Dampak negative
tersebut muncul sebagai akibat dari terganggunya perdegangan dunia dan
melambatnya distribusi logistik. Pernyataan sejalan dengan prediksi prediksi
International Monetery Fund (IMF) dan
Bank Dunia. IMF memperikarakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,5% pada 2020 dan 8,2% pada 2021
sedangkan prediksi Bank Dunia berada pada angka minus 3,5% atau 2,1% pada 2020.
Selain itu, peneliti PRAKARSA Rahmanda Muhammad Thari,
dalam tulisannya untuk laman theconversation,
menjabarkan potensi terjadinya krisis keuangan
akibat pandemi.
Menurutnya, krisis keuangan akan mengakibatkan semakin sulitnya mendapatkan
pembiayaan dan terhambatnya penyelesaian transaksi. Sedikanya terdapat dua
faktor yang dapat mendorong terjadinya krisis keuangan: Arus dana keluar dan
kredit macet. Ia menegaskan bahwa terlalu cepat untuk mengatakan Indonesia tengah mengalami krisis keuangan,
namun kondisi ketidakpastian selama pandemi memperbesar kemungkinanya terjadi.
Prediksi Rahmanda didukung oleh data yang disampaikan oleh Komite Sistem Stabilitas
Keuangan (KSSP) dalam konferensi pers
virtual, Kamis 30 April 2020. Akibat pandemic, indeks volatilitas pada pasar
keuangan global menunjukan tingkat kecemasan paling tinggi sepanjang sejarah.
Kondisi tersebut diperburuk dengan turunnya indeks kepercayaan konsumen
melebihi kondisi krisis 2008.
Kondisi serupa juga ditunjukan pasar keuangan dalam negeri. Selama
triwulan I 2020, arus modal keluar menyentuh angka Rp145,28 triliun. Sebagai
perbandingan, krisi global 2008 arus modal keluar berada dikisaran
Rp69,9triliun dan saat tapper tantrum 2013 tercatat Rp36 triliun. Kabar tidak mengenakan
juga muncul dari ekskalasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Tercatat pada Februari nilai tukar rupiah berada dikisaran Rp14.318,
kemudian melemah pada pekan kedua Maret menjadi Rp14.778, hingga akhirnya
berada di posisi terendah pada pekan ketiga
Maret mencapai Rp16.575, melemah 15,8% dibandingkan bulan sebelumnya.
Pada kesempatan
yang sama, Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengatakan bahwa kondisi
pasar keuangan dan nilai tukar rupiah tengah menjadi perhatian pemerintah.
Pemerintah perlu melakukan tindakan cepat dan luar biasa (extraordinary
actions) untuk menangani dampak pandemi Covid-19. Untuk itu, pemerintah perlu memiliki dasar
hukum dalam mengambil kebijakan.
Setidaknya terdapat dua bagian dalam Perppu yang banyak menyita perthatian.
Bagian pertama adalah mengenai Penganggaran
dan Pembiayaan. Pada bagian ini, pemerintah diberikan kekuasaan untuk
melampaui defisit anggaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Perluasan defisit ini setidaknya
berlaku sampai dengan tahun anggaran 2022. Namun, Perluasan defisit
dikhawatirkan dapat menjadi bumerang di masa depan jika batasan maksimal
defisit tidak diatur. Pembatasan penting dilakukan mengingat kemampuan
pemerintah memenuhi target penerimaan masih rendah dengan rapor shortfall pajak
selama satu dekade terakhir. Jika pembatasan tidak diberlakukan, pembiayaan dikhawatirkan
akan membengkak dan menjadi beban ekonomi jangka panjang.
Proses pemulihan perekonomian pun diharapkan dapat terealisasi sesuai
target pemerintah, yakni dalam kurun
waktu tiga tahun (2020 – 2022). Sebab, penerimaan negara sangat bergantung pada pertumbuhan ekonomi dan
denyut dunia usaha. Jika kondisi ekonomi tak pulih dan kembali tumbuh ke
kisaran lima persen, artinya insentif dan stimulus yang digelontorkan oleh
pemerintah tak memberikan efek apa pun bagi dunia usaha. Berbagai insentif dan
pelonggaran belanja pun dapat dihentikan saat benar-benar tidak diperlukan lagi
tanpa harus menghabiskan waktu selama tiga tahun. Sebab, dengan asumsi
pertumbuhan ekonomi sebesar 2 persen di
tahun ini saja, tax expenditure pemerintah diprediksi akan menyentuh Rp139
triliun.
Perluasan defisit juga mengandung risiko jika dibiarkan
berkepanjangan. Pertama, standar belanja dikhawatirkan akan naik mengikuti
ruang defisit yang diperlebar sehingga pemerintah akan kelimpungan sendiri
membiayainya. Kedua, pondasi ekonomi Indonesia menjadi sangat rapuh karena
pemerintah akan ketergantungan terhadap aliran modal asing yang masuk lewat
instrumen surat berharga negara.
Bagian kedua yang banyak mendapat sorotan adalah mengenai impunitas
hukum yang diberikan kepada pemangku kebijakan. Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun
2020 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau KSSK
bukan merupakan kerugian negara. Pemerintah dan KSSK pun tidak dapat digugat
dan dituntut di pengadilan. Padahal, potensi terjadinya ketidakakuratan data
dan persoalan koordinasi antara pusat dan daerah masih cukup tinggi. Semua itu
memengaruhi ketepatan, efektivitas, dan efisiensi penggunaan anggaran.
Perisai 'kebal hukum' KSSK dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sejatinya
dibuat sebagai bentuk perlindungan terhadap para pengambil kebijakan. Hal
tersebut berkaca pada Kasus Bank Century di mana beberapa pengambil kebijakan
dalam KSSK diseret ke ranah hukum dengan tuduhan mengakibatkan kerugian negara
sebesar Rp6,7 triliun lantaran memberikan fasilitas pendanaan jangka pendek
(FPJP) pada Bank Century.
Dalam menanggapi hal ini, KSSK menyatakan bahwa mereka sebelumnya
telah berkonsultasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan
Kepolisian. KPK bahkan sudah mengeluarkan peringatan bahwasanya siapapun yang melakukan penyelewengan anggaran penanganan
Covid-19, dapat dijatuhi hukuman mati.
Presiden
Jokowi menegaskan kepada seluruh jajaran kabinet, mesikpun tengah dituntut
dalam kerja cepat, penerapan Good Government tetap harus
dilaksanakan. Hal ini berarti, dalam situasi apapun tetap harus mengikuti
prosedur yang sudah diatur sebelumnya, termasuk penerbitan Perpu sebagai
landasan hukum. PERPU ini merupakan langkah awal agar Pemerintah dapat
mengambil langkah–langkah yang bersifat luar biasa (extraordinary actions)
secara cepat untuk penanganan Pandemi Covid-19. Baik dari aspek sosial,
ekonomi, maupun stabilitas sistem keuangan.
Komentar
Posting Komentar