Langsung ke konten utama

Carut Marut Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi

 

            Sebagai negara hukum, penegakan hukum di Indonesia mutlak adanya. Tidak terkecuali pada penegakan hukum tindak pidana korupsi. Namun, penegakan hukum tindak pidana korupsi masih terhalang berbagai kendala. Mulai dari lemahnya kinerja aparat penegakan hukum, koruptor yang semakin licin dalam memanfaatkan celah-celah hukum, hingga sulitnya menjatuhkan hukuman berkeadilan pada koruptor. Kendala penegakan hukum tindak pidana korupsi menarik untuk kita kaji bersama dan nantinya dihaparkan mampu meberikan solusi atas kendala tersebut.

1.     Kinerja Aparat Penegak  Hukum

      Pembicaraan mengenai penegakan hukum tidak bisa lepas dari kinerja aparat penegak hukum. Sebab, proses penegakan hukum sangat bergantung pada kerja-kerja aparat penegak hukum. Dalam perkara tindak pidana korupsi, terdapat tiga instansi yang diberikan wewenang untuk melakukan penegakan hukum yaitu Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiga instansi tersebut diharapkan mampu bersinergi dalam upaya pemberantasan korupsi di bidang penegakan hukum.

      Sayangnya, masih banyak evaluasi merah dari kinerja aparat penegakan hukum dalam menindak pidana korupsi. Indonesia Coruption Watch (ICW) merilis Tren Penegakan Kasus Korupsi 2020 yang berisi penilaian atas kinerja aparat penegakan hukum. Rilis tersebut mengukur kinerja aparat dari perbandingan target penindakan selama 2020 dengan realisasi penindakan. Hasilnya, selama 2020 aparat penegakan hukum hanya bisa melakukan penindakan atas 444 kasus tipikor dari total taget sebanyak 2.225 kasus atau setara 20%. Capaian tersebut dinilai sangat buruk oleh ICW hingga diberikan predikat E (Alamsyah, 2021).

      Selain penegakan kasus yang masih jauh dari target, upaya sinergi antar instansi penegakan hukum juga masih jauh panggang dari api. Alih-alih bersinergi, instansi penegak hukum tidak jarang saling sikut satu sama lain apalagi ketika berkaitan dengan pengusutan salah satu anggota instansi tersebut.

      Kisruh Cicak vs Buaya dapat menjadi gambaran menarik hubungan antar instansi penegakan hukum. Istilah Cicak vs Buaya sendiri merujuk pada perselisian antara KPK dengan Polri yang pertama kali mencuat pada 2009. Mengutip Tirto ( (Rimbawana, 2019), Cicak merujuk pada KPK dan Buaya merujuk pada Polri. Personifikasi ini muncul dari wawancara yang dilakukan Tempo dengan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri kala itu, Susno Duadji. Susno Duadji sendiri belakangan mengundurkan diri dari posisinya sebagai Kabareskrim. Ia juga terlibat dalam beberapa kasus tindak pidana korupsi besar seperti kasus Bank Century.

      Tidak berhenti di 2009, kisruh Cicak VS Buaya selalu mencuat ketika ada persinggungan antara KPK dengan Polri. Misalnya pada 2012, ketika KPK dihalangi ketika akan menggeledah Gedung Korlantas Polri terkait kasus korupsi proyek pengadaan simulator SIM. Beda lagi pada 2015, ketika KPK menetapkan calon kapolri saat itu, Komisaris Jendral Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi yang diikuti oleh penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjayanto oleh Bareskim Porli karena tidak pidana dalam Pilkada Kotawaringin dan Papua.

      Beruntungnya, kemungkinan tidak akan ada jilid baru dari Cicak VS Buaya. Mengingat, sekarang ketua KPK Firli Bahuri sendiri berasal dari tubuh Polri dan dalam revisi UU KPK terbaru menempatkan seluruh penyidik KPK akan berada dibawah yuridisk Polri. Bukan hanya Cicak vs Buaya yang mungkin tidak ada lagi, tapi Cicak sendiri mungkin sudah tidak ada, mati dimakan Buaya.

2.     Hukuman Belum Berkeadilan

      Produk akhir dari proses penegakan hukum adalah berupa hukuman yang dijatuhkan pada koruptor. Hukuman tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua peraturan teresebut mengatur dua jenis hukuman yang dihadapkan pada terpidana kasus korupsi, yaitu hukuman badan dan hukuman finansial.

      Hukuman badan merujuk pada vonis penjara yang dijatuhkan pengadilan. Sayangnya, vonis ringan bagi para koruptor masih menjadi tren dengan rata-rata vonis hukuman 2 tahun satu bulan penjara.. (Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2017). Pasal 3 dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi pasal favorit hakim dalam mejatuhkan hukuman pada terpidana kasus korupsi. Pasal 3 tersebut menyebutkan bahwa terpidana kasus korupsi minimal dijatuhi hukuman penjara 1 tahun dan maksimal seumur hidup.

      Data yang dihimpun ICW juga menunjukan hal serupa. Pada 2019, rata-rata vonis koruptor hanya sebesar 2 tahun 7 bulan. Naik 2 bulan dari 2018 sebesar 2 tahun 5 bulan dan naik  5 bulan jika dibanding 2017 sebesar 2 tahun 2 bulan.

Tahun

Rata-Rata Vonis

2019

2 tahun 7 bulan

2018

2 tahun 5 bulan

2017

2 tahun 2 bulan

2016

2 tahun 2 bulan.

2015

2 tahun 2 bulan.

     

      Selain hukuman badan yang ringan, hukuman finansial bagi para koruptor juga tidak bisa dikatakan sepadan. Hukuman finansial mencakup denda, hukuman pengganti, dan perampasan aset yang bertujuan untuk memiskinkan dan memberikan efek jera pada koruptor (Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2017). Tidak sepadannya hukuman finansial dapat kita lihat dari total kerugian negara akibat tindak pidana korupsi selama 2019 yang mencapai lebih dari Rp 12 triliun hanya Rp 748 miliar yang bisa dipulihkan melalui uang pengganti yang diputuskan pengadilan atau kurang dari 10 persen (Indonesia Corruption Watch, 2020).

      Ringannya hukuman badan dan hukuman finansial koruptor dibanding kerugian negara yang timbul terjadi karena banyak faktor. Misalnya dalam kasus Pinangki Sirna Malasari, terdakwa kasus penyuapan, pencucian uang, dan pemufakatan jahat yang mendapat diskon masa tahanan dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun serta denda sebesar Rp 600 juta setelah bandingnya dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Dari Pinangki, Kejaksaan berhasil nyita aset berupa mobil BMW senilai Rp 1,7 miliar. Nilai denda dan aset yang diterima negara dari Pinangki masih jauh dari nilai suap yang diterima Pinangki dalam kasus tersebut yang nilainya mencapai 500 ribu dollar atau setara Rp 7 miliar. Pertimbangan hakim dalam memberikan diskon masa tahanan tersebut adalah pengakuan besalah Pinangki, pemecatannya dari kejaksaan, memiliki anak balita berusia 4 tahun, dan ia seorang perempuan yang harus mendapat perlindungan.

      Terdapat dugaan adanya koneksi antara Pinangki dengan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan rekam jejak hakim yang dipertanyakan  (Hidayat, 2021). Singgih Budi Prakoso, salah satu anggota mejilis hakim pernah diduga terlibat kasus suap pada 2015 dan pernah dilaporkan Komisi Yudisial (KY) karena pelanggaran kode etik.  Hakim Haryono dan Hakim Muhammad Yusuf juga pernah dilaporkan ke KY terkait pelanggaran kode etik. Sedangkan Hakim Lafat Akbar dan Reny Halida Ilham Malik telah beberapa kali melakukan pemangkasan hukuman koruptor di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

      Disparitas pemidaan juga menjadi salah satu penyebab ringannya vonis bagi terpidana korupsi. Perkara dengan nilai kerugian negara relatif besar justru hanya dikenai hukuman ringan, sedangkan perkara serupa dengan kerugian negara dan pelaku memiliki jabatan serupa justru divonis lebih berat (Indonesia Corruption Watch, 2020).

      Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (Komisis Yudisial Republik Indonesia, 2014), disparitas putusan hakim terjadi karena hukum itu sendiri. Dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, hakim diberi ruang kebebasan untuk memilih jenis pidana. Selain itu, besarnya hukuman juga menjadi kebebasan hakim sebab undang-undang hanya mengatur maksimal dan minimal hukuman.

 

3.     Alternatif Hukuman Bagi Koruptor

a.      Pencabutan Hak Politik

            Pencabutan hak politik menjadi salah satu alternatif hukuman bagi koruptor yang cukup banyak disinggung. Alasan mendasar dari tingginya dorongan untuk mencabut hak politik koruptor adalah karena maraknya aksi pencalonan kembali koruptor menjadi pejabat publik. Aksi pencalonan kembali ini menunjukan bahwa para koruptor masih memiliki kepercayaan diri tinggi. Pencalonan kembali koruptor juga menyiratkan bahwa aktor politik Indonesia masih sangat terbatas pada lingkaran tertentu hingga orang diluar lingkarang tersebut, yang notabenenya bersih dari kasus korupsi sulit untuk maju.

            Namun, perlu digaris bawahi pula bahwa dalam pencabutan hak politik juga masih tersandung disparitas putusan hakim. Tanpa ada kententuan yang jelas mengenai dasar-dasar pencabutan hak politik, hakim dapat bebas mencabut atau tidak mencabut hak politik koruptor. Sebagai contoh, Djoko Susilo tersangka korupsi proyek simulator SIM dituntut untuk dicabut hak politiknya oleh jaksa namun tuntutan tersebut ditolak oleh hakim. Padahal, Djoko Susilo sudah menyebabkan kerugian negara hingga Rp121 miliar. Berbeda dengan Djoko, Suryadharma Ali, terpidana tindak pidana penyelewengan wewenang selama menjadi menteri agama dicabut hak politiknya selama 5 tahun. Saat itu, Suryadharma terbukti menyebabkan kerugian negara senilai Rp27 miliar.

b.     Hukuman Mati

            Hukuman mati oleh kebanyakan orang dianggap sangat ampuh dan memberikan efek jera bagi para koruptor. Namun, banyak sekali pertimbangan dalam menetapakan hukuman mati. Pertimbangan pertama adalah sorotan dari aktivis HAM yang beranggapan bahwa hukuman mati dapat melanggar hak asasi terpidana. Hukuman mati hanya boleh dijatuhkan pada pelaku pelanggaran HAM berat seperti kejahatan kemanusiaan, genosida, dan agresi.

            Selain itu, secara internasional hukuman  mati nyatanya tidak terlalu efektif dalam memerangi korupsi. Hal ini terbukti dari Indeks Persepsi Korupsi Cina, salah satu negara yang rajin menghukum mati terpidana korupsi, hanya berada di angka 42 pada 2020, berbeda 5 poin dari  Indonesia dengan nilai 37.   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sleeping Dog! Pengalaman Aksi di Bawah Langit Abu-abu Hongkong

Kalian pernah penasaran gimana rasanya jadi intel?  Intel bukan sembarang intel, tapi jadi polisi undercover yang menyusup ke organisasi kriminal sadis sekaligus romantik? Sleeping Dog bisa memberi pengalaman lebih dari sekedar bunuh-bunuhan Sleeping Dog adalah games Open World ala-ala Grand Thief Auto (GTA) garapan developer United Front Games dan Square Enix London Studios . Game ini diluncurkan pada 13 Agustus 2012 untuk PC, Playstation 3, Playstation 4, Xbox 360, dan Xbox One. Versi definitifnya kemudian diluncurkan dua tahun berselang. Meskipun ala-ala GTA, Sleeping Dog menawarkan formula yang jauh berbeda. Tidak ada yang benar-benar baik dalam gelapnya langit abu-abu Hongkong. Jika di Indonesia polisi dalam penyamaran identik dengan tukang bakso, penyamaran Wei Shen tidak sesederhana itu. Wei Shen, sorang agen FBI asia amerika, sedang dalam misi penyamaran untuk mengungkap jaringan penjahat terkoordinasi di Hongkong, Sun On Yee. Sun On Yee adalah salah satu organisasi kr...