Indonesia telah lama mendaku diri sebagai negara maritim. Telah lama
menyadari potensi laut dan kemaritiman yang dimiliki. Namun, seberapa serius
kita menghidupkan ekonomi dari laut ?
Indonesia
memang tidak bisa dipisahkan dari kata laut dan maritim. Siapapun anda, orang
Indonesia atau bukan, pasti akan sepakat kalau Indonesia adalah salah satu negara
dengan kekayaan laut dan maritim paling melimpah. Secara geografis, Indonesia merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia. Setidaknya terdapat lebih dari 16 ribu
pulau yang terbentang diantara dua samudera, Hindia dan Pasifik, serta dua
benua, Asia dan Australia. Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan
garis pantai terpanjang mecapai 99 ribu kilometer. Kondisi ini membuat laut
nusantara menjadi tempat hidup bagi 27,2 persen flora dan fauna yang terdapat
di dunia.
Potensi
laut dan perikanan Indonesia diprediksi mencapai USD 1.338 miliar per tahun. Angka
ini diambil dari data 11 sektor terkait industri laut dan perikanan yang
dihimpun kementrian kelautan dan perikanan. Prediksi tersebut belum termasuk sumber daya non fisik lain
yang belum dapat dimanfaatkan seperti sumber-sumber energi terbarukan. Sayangnya, baru sebagian kecil
dari potensi laut dan perikanan yang berhasil kita maanfaatkan. Publikasi BPS
menyebutkan bahwa kontribusi sumberdaya laut dan perikanan(PDB Maritim) pada PDB (Pendapatan Domestik Bruto )
Indonesia dalam kurun waktu 2011-2017 rata-rata hanya sebesar 7,02%. Berbanding terbalik dengan luas laut yang
mecapai 62% dari total wilayah kedaulatan NKRI.
Ekonomi
Biru (Blue Economy) dapat menjadi obat
mujarab untuk memaksimalkan potensi laut
Indonesia. Allistair Mcligorm, professor ekonomi kemaritiman asal Australia,
mengartikan Ekonomi Biru (Blue Economy)
sebagai ekonomi laut berkelanjutan yang ditopang oleh keseimbangan antara
aktivitas ekonomi dengan kapasitas jangka panjang ekosistem laut. Sedangkan Bappenas,
mendefinisikan Ekonomi Biru sebagai paradigma pembangunan ekonomi yang
berazaskan pada prinsip-prinsip ekosistem. Pendekatan ekonomi satu ini memang
bukan barang baru bagi Indonesia. Setidaknya sejak 2012, Kementerian Kelautan
dan Perikanan telah merilis Kebijakan
Ekonomi Kelautan dengan Model Ekonomi Biru. Namun, seserius apa kita
membirukan ekonomi ?
Presiden
Jokowi sejak terpilih pertama kali pada 2014 sudah menyadari ketidakberdayaan
kita dalam memanfaatkan potensi laut. Beliau bahkan mengatakan kalau kita sudah
terlalu lama memunggungi laut dan segala potensinya. Kesadaran ini dituangkan
Presiden Jokowi dalam visinya menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Program Tol Laut menjadi Salah satu perwujudan
visi tersebut sekaligus program andalannya selama periode pertama. Selama
periode itu pula pemerintah, melalui Meteri Kelautan dan Perikanan Susi
Pudjiastuti, getol melalukan memberantas aksi illegal Fishing di perairan Indonesia.
Sayangnya, semangat membirukan ekonomi Indonesia semakin hari tampak semakin pudar, atau setidaknya, bergerak kearah yang tidak semestinya. Selama perhelatan pemilihan presiden 2019 hingga pidato kemenangan Presiden Jokowi, ekonomi kelautan dan “menjadi poros maritim dunia” luput dari bahasan. Susi Pudjiastuti yang dikenal galak pada pelaku illegal Fishing pun tidak dipercaya kembali menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Tidak terpilihnya kembali Susi menjadi menteri bukan tanpa alasan. Sifat tegas dan tanpa kompromi membuat pemain lama dan mafia sektor perikanan sulit bernegosisasi dengan Susi. Hal ini memaksa lawan-lawannya melakukan lobi-lobi politik ke partai dan parlemen agar Susi dijauhkan dari kursi kementrian. Alih-alih memilih pengganti yang lebih tegas, Presiden Jokowi justru memilih mantan Anggota DPR, Edhy Prabowo, yang belakangan ditangkap KPK karena kasus suap ekspor benih lobster, sebagai menteri kelautan dan perikanan. Tidak terpilihnya Susi Pudjiastuti dan kasus korupsi yang menjerat Edhy Probowo membuktikan bahwa Ekonomi Biru hanya dijalankan setengah hati.
Menentukan Prioritas
Setelah
menyadari besarnya potensi laut Indonesia, menjadikan Ekonomi Biru sebagai
prioritas mutlak adanya. Tanpa menjadi prioritas nasional, Ekonomi Biru hanya
menjadi angan-angan dan jargon semata. Menjadikan Ekonomi Biru sebagai
prioritas juga menunjukan semangat kita dalam maksimalkan potensi laut. Salah
satu upaya menepatkan Ekonomi Biru sebagai prioritas adalah dengan memasukannya
kedalam visi dan misi pembangunan, hal yang belum dilakukan oleh Presiden
Jokowi selama dua periode berkuasa.
Selain
visi dan misi, dalam struktur tata laksana pemerintahan, Indonesia mengenal
adanya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dokumen ini berisi
penjabaran dari visi dan misi pemerintahan presiden selama satu periode.
Setelah ekonomi biru masuk kedalam visi dan misi pembangunan, perlu adanya
perencanaan program secara terpadu dalam RPJMN . Dengan demikian, fokus dalam
pembangunan Ekonomi Biru dapat diukur keberhasilannya.
Jangka Pendek : Memaksimalkan
Potensi Perikanan
Seperti
yang dijelaskan Allistair Mcligorm, Ekonomi Biru membutuhkan adanya
keseimbangan antara kegiatan ekonomi dengan ekosistem laut. Artinya, Ekonomi Biru
tidak terbatas pada kegiatan eksploitasi laut semata. Lebih jauh, ekonomi biru
mengharuskan adanya keberlanjutan dalam proses pelestarian ekosistem laut.
Untuk itu, penting bagi kita merencanakan proses membirukan ekonomi secara
berkelanjutan.
Efisiensi
industri perikanan tangkap dapat menjadi solusi jangka pendek untuk menerapkan
Ekonomi Biru. Dari sebelas sektor kemaritiman, sektor perikanan menyumbang
lebih 40 persen PDB maritim Indonesia pada 2016. Jumlah ini dihimpun dari data
perikanan laut maupun payau, baik tangkap maupun budidaya. Khusus perikanan
tangkap, Indonesia memiliki 5,8 juta km2 daerah penangkapan ikan.
Daerah ini terbagi menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia dengan potensi hasil tangkapan mencapai 9,9 juta ton.
Perlawanan
terhadap Illegal Fishing terbukti
mampu dilakukan oleh pemerintah. Berkaca dari upaya Susi saat menjabat menteri kelautan
dan perikanan, ketegasan dan tanpa kompromi pemerintah dapat menurunkan tingkat
pencurian ikan lebih dari 90%. Selain itu, diperlukan adanya perhatian lebih
dari pemerintah kepada para nelayan, terutama nelayan tradisional. Perlu kita
catat bersama, jumlah nelayan mengalami penurunan dari 2,7 juta jiwa menjadi
2,2 juta jiwa pada 2019. Salah satu penyebab penurunan ini adalah konflik perebutan
ruang hidup nelayan.
Penurunan ini jelas
menghawatirkan ditengah upaya membirukan ekonomi. Nelayan sebagai garda depan
pejuang ekonomi kelautan mesti dijaga ruang hidupnya. Ruang hidup nelayan sama
pentingnya dengan ruang hidup petani, buruh pabrik, dan pekerja kantoran. Tanpa
nelayan, keberadaan potensi laut Indonesia disektor perikanan tidak dapat
termanfaatkan. Lagi pula, bagaimana jadinya negara poros maritim dunia jika
meminggirkan kerja-kerja nelayannnya ?
Selain
menjaga kelestarian ruang hidup nelayan, menjaga kelestarian habitat perikanan
tangkap juga harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sebab, sektor perikanan
tangkap amat bergantung pada pola hidup dan ekosistem laut. Salah-salah, bukan
hasil ikan tangkap melimpah yang kita dapat, tetapi justru merusak ekosistem
laut. Penggunaan cantrang misalnya, metode penangkapat ikan yang satu ini
terbukti ampuh membuat proses penangkapan ikan lebih produktif. Namun,
penggunaan cantrang tidak sesuai standar justru berpotensi merusak terumbu
karang dan menagkap spesies non-buruan seperti penyu dan lumba-lumba.
Pelarangan cantrang pada 2015 dinilai oleh aktivis kelautan sebagai langkah
progresif. Sayangnya, pemerintah pada 2020 memilih mencabut larangan tersebut.
Cantrang memang tidak sepenunhnya buruk, tetapi penting bagi pemerintah untuk
berkomitmen mengawasi
penggunaannya secara ketat ketika larangan dicabut.
Persiapan Masa Depan
Penyediaan
infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia di industri kelautan,
dan upaya konservasi harus digalakan sebagai target jangka panjang membirukan
ekonomi. Ketiga komponen ini memegang peran vital untuk mewujudkan Ekonomi Biru
berkelanjutan. Penyediaan Infrastruktur laut secaranya nyata sudah dilakukan
oleh pemerintah melalui program tol laut. Namun, proses ini tidak bisa berhenti
sampai disana. Pengadaan
kapal-kapal pengangkut untuk mengarungi tol-tol laut tersebut masih menjadi
PR pemerintah. Lebih
lanjut, pemerintah juga harus memulai proyek pemanfaatan energi terbarukan dan
bahan mineral bawah laut. Tentu saja pelaksanaannya tetap mengedepankan aspek
konservasi dan pembangunan berkelanjutan.
Peningkatan
kualitas SDM dalam industri dapat dilakukan melalui program-program pendidikan
dan perubahan kurikulum dalam dunia pendidikan. Pendidikan-pendidikan vokasi
dapat dibuat terpadu dengan proses Ekonomi Biru sehingga mampu memahami laut
sebagai bagian dari kehidupan, bukan sebagai sumber eksploitasi ekonomi semata.
Upaya konservasi adalah komponen jangka panjang yang paling penting namun paling sulit dilakukan. Sebab, upaya konservasi sering kali bersebrangan dengan kepentingan ekonomi. Akibatnya, pelaku ekonomi menyepelekan konservasi laut. Padahal, tanpa adanya ekoistem laut, laut tidak ubahnya sebagai lahan tandus. Mengorbankan kesuburan laut untuk keuntungan sesaat benar-benar tindakan tidak bertanggung jawab. Pemerintah, dengan segela daya dan upaya, wajib adanya menjaga kelestarian laut dan segala isinya.
Komentar
Posting Komentar