Tahun
2019 adalah tahun yang penuh hingar bingar bagi bangsa Indonesia. Pergulatan
sosial, ekonomi, hingga politik menyita perhatian publik dari sabang hingga
merauke. Publik mulai membuka mata dan peduli akan keberlangsungan bangsanya.
“Pemindahan Ibukota” adalah salah satu yang paling banyak mencuri perhatian.
Bagaimana tidak, wacana pemindahan ibukota adalah cerita lama bagi bangsa
Indonesia. Bukan sekali ini ada presiden yang mewacanakan pemindahan ibukota.
Namun jelas, baru presiden Joko (Jokowi) Widodo yang sepertinya serius ingin
menghilangkan gelar DKI dari Jakarta.
Sejak Agustus 2019, wacana pemindahan ibukota sudah
santer terdengar. Media ramai-ramai memberitakan presiden Jokowi yang seliweran
di Kalimantan untuk mencari calon ibukota baru. Spekulasi dari berbagai
kalangan bermunculan merespon berita-berita tersebut. Ada yang optimis,
menganggap pemindahan ibukota bisa menjadi solusi mendasar bagi berbagai permasalahan
di Indonesia. Namun, ada juga yang merasa pesimis, memandang wacana pemindahan ibukota
hanya gimik pemerintah tanpa impac
yang jelas.
Meskipun menerima banyak kritik, pemerintah tetap teguh
pada keputusannya. 26 Agustus, Presiden Jokowi menyampaikan rencana pemidahan
ibukota tersebut di depan DPR RI. Alasan pemindahan ibukota telah dijabarkan
pemerintah dalam berbagai kesempatan. Bahkan, beberapa kajian dan paparan
mengenai pemindahan ibukota telah disediakan dalam halaman daring Bappenas dan
Kementrian/Lembaga lainnya.
Mengutip laman Kompas.com (2019), terdapat beberapa
alasan mendesaknya pemindahan ibukota. Salah satunya adalah pemerataan dengan
menggenjot kotribusi Produk Domestik Bruto (PDB) dari luar Jawa. berdasarkan
data yang dihimpun BPS, PDB pulau Jawa sebesar 58,49 persen, Sumatera 21,66
persen, Kalimantan 8,2 persen, Sulawesi 6,11 persen, Bali dan Nusa Tenggara
3,11 persen, serta Papua dan Maluku 2,43 persen. Data tersebut adalah dasar
argument pemerintah bahwa pemindahan ibukota akan mewujudkan pemerataan ekonomi
melalui peningkatan PDB di tiap-tiap pulau.
Secara
sekilas, terlihat bahwa ada ketidakproporsionalan dalan sumbangan terhadap PDB
nasional. Jawa, dengan luas pulau yang relative kecil menyumbang lebih dari 50
persen PDB nasional. Yang lebih mengejutkan, 20,85 persen diantaranya
disumbangkan oleh Jabodetabek saja. Jika kita melihat dari segi persebaran
penduduk, sebenarnya wajar saja Jawa memberikan kontribusi sebesar itu. Masih
mengutip kompas.com, berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015,
sebanyak 56,56 persen penduduk Indonesia ada di Jawa. Wajar juga kiranya
pemerintah ingin menghilangkan jawasentris dan jakartasentris dengan
embel-embel pemerataan.
Akan
tetapi, jangan samapai kita terlena dengan “pemerataan” yang terdengar merdu. Sejak
awal, alasan pemerintah melakukan pemindahan ibukota adalah untuk memaksimalkan
PDB dari luar Jawa. Sehingga, daerah luar Jawa juga akan memberikan kontribusi
optimal untuk kue ekonomi nasional. Sayangnya, ‘pemerataan” dengan model seperti
itu tidak dapat mewujudkan pemerataan ekonomi secara substansial. Pemerintah
hanya fokus pada seberapa besar sumbangan kue ekonomi yang diberikan, namun
lupa pada seberapa besar potongan kue yang seharusnya pantas diterima
masyarakat. Pada akhirnya, “Pemerataan” justru memperbesar ketimpangan ekonomi,
memperdalam jurang pemisah antara kaya dan miskin.
Wijayanto
Samirin, dalam bukunya berjudul Bridging
the Gap (2014), memahami bahwa PDB adalah indikator penting dalam ekonomi.
Namun, Robert Kennedy dalam Samirin (2014) mengatakan bahwa, PDB mengukur
banyak hal kecuali hal-hal yang membuat hidup lebih bermakna. Kalimat tesebut
sangat cocok menggambarkan bagaimana PDB seharusnya tidak dijadikan tolak ukur
apalagi alasan pemerataan.
Analogi
yang sering digunakan adalah PDB sebagai kue raksasa milik suatu negara.
Sedangkan PDB per kapita adalah besar potongan kue setiap warga negara.
Mengikuti analogi tersebut, pemerataan terlihat seperti masalah anak-anak.
Logika yang digunakan sederhana, jika tidak ada cukup bagian kue, maka kita
perbesar kue tersebut. Namun kenyataanya, potongan kue tidak terbagi secara
adil. Berdasarkan Samirin (2014), PDB perkapita Indonesia saat itu adalah 36
juta orang dengan prediksi pertumbuhan ekonomi 4-5 persen. Pada prakteknya, ada
jutaan orang Indonesia dengan penghasilan jauh dibawah PDB perkapita.
Ketimbang
menggunakan PDB sebagai dasar perwujudan “Pemerataan” pemerintah memiliki
instrumen yang lebih baik yaitu Raio
Gini. Rasio Gini adalah perbandingan kekayaan antara penduduk terkaya dengan
termiskin di suatu negara. Semakin tinggi Rasio Gini, semakin parah juga
ketimpangan ekonomi negara tersebut. Berdasarkan data yang disampaikan Direktur
Penyusunan Anggaran dalam Kuliah Umum di PKN STAN 2019, Rasio Gini Indonesia di
tahun 2019 berada di angka 0.38. Turun 0.02 dari tahun 2015 yang mencapai 0.40.
Angka tersebut menempatkan Indonesia pada level ketimpangan sedang, namun
terpaut sedikit dari ketimpangan tinggi (Rasio Gini lebih dari 0.40). Penurunan
Rasio Gini dapat diartikan sebagai keberhasilan pemerintah untuk mengurangi
ketimpangan tanpa mempertimbangkan keadaan ekonomi dunia yang tengah melambat.
Tren
penurunan Rasio Gini juga diikuti oleh berbagai perbaikan kesejakteraan
masyarakat. Yenny Tjoe, Pengajar di Griffith University, dalam tulisannya untuk
laman theconversation.com, mengatakan bahwa strategi pembangunan Jokowi hingga
2018 telah mempertimbangkan berbagai faktor seperti ketimpangan akses peluang
ekonomi dan akses layanan publik. Sayangnya, dalam rencana “Pemerataan” melalui
pemindahan ibukota faktor-faktor tersebut justru luput dari pertimbangan.
Akibatnya, pemindahan ibukota seolah hanya memindahkan
gedung-gedung di Jakarta agar terhidar dari segala keburukan Jakarta. Menuju
tempat paling ideal untuk pemerintah bekerja.
Memang bukan tidak mungkin pemindahan ibukota dapat memberikan dampak
pada penurunan Rasio Gini. Namun, dengan perspektif pemerintah yang fokus pada
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kontribusi terhadap PDB rasanya sulit.
Bahkan, jika pemerintah tetap ingin menggenjot
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kontribusi PDB nasioal tatap perlu ada
kajian lebih jauh dan lebih terbuka. Sebab, menurut Rizal Taufikurahman (CNN
Indonesia,2019), ekonom Institute for Developmen of Economic and Finance (Indef), pemidahan ibukota tidak
berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Ia menambahkan, pemindahan ibukota
hanya akan meningkatkan PDB Kalimantan timur. Selain
Kalimantan Timur, hanya Papua dan Kalimantan Selatan yang mengalami kenaikan
masing-masing 0.01 persen.
Rubah
Substansi dan Metode Kebijakan
Pemindahan
ibukota adalah angin segar untuk pemerataan. Dengan catatan, logika dan tujuan
yang digunakan adalah untuk pentingan rakyat. Bukan demi kepentingan pemerintah
terlebih oligarkit. Menjadi penting bagi pemerintah untuk merefleksikan kembali substansi
pemindahan ibukota. Jangan hanya terjebak pada partumbuhan ekonomi dan lupa
pada penurunan kesenjangan ekonomi. Selogan Indonesiasentris yang digaungkan
bukan hanya soal seberapa besar sumbangan kue ekonomi setiap daerah, tatapi
juga soal besar keadilan kue ekonomi untuk masyarakat daerah. Banyak solusi
alternatif untuk menyelaraskan pembangunan dengan penurunan kesenjangan. Mulai
dari menggunakan pendekatan Buttom Up, Hingga
meningkatkan kualitas SDM. Apapun metodenya, selama marwah pemerintah untuk
mewujudkan cita-cita bangsa tidak hilang bukan menjadi masalah.
Mengutip
Jusuf Kala dalam Pengantarnya untuk Bridging
the Gap,”Cita-cita seluruh rakyat intinya satu, yaitu kesejahteraan yang
berkeadilan. Kesejahteraan harus hadir di ruang makan tempat keluarga Indonesia
bercengkrama, di kelas-kelas dimana jutaan anak Indonesia menuntut ilmu, di
balai-balai kesehatan di penjuru tanah air, di sawah dan lading tempat para
petani mencari nafkah, dan di pabrik-pabrik tempat para pekerja berkarya”
Komentar
Posting Komentar